SVLK Gagal Dongkrak Ekspor Mebel
Jakarta – Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dinilai gagal mendongkrak ekspor industri mebel dan kerajinan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyederhanakan mekanisme mendapatkan SVLK agar sertifikat ini bermanfaat bagi industri mebel dan kerajinan.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah juga memerlukan kerja sama dengan perbankan melalui sistem kredit usaha rakyat (KUR) ataupun Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Penyederhanaan aturan, menurut Airlangga, dapat diterapkan untuk hasil tanaman rakyat.
“Saat ini, tanaman rakyat harus ditanam di lahan bersertifikat. Ini menjadi hambatan. Padahal, tanaman rakyat seperti Sengon sekarang lagi bagus-bagusnya. Tapi, kalau ada regulasi yang menghambat, dikhawatirkan ekonomi rakyat kena dampak,” ujar Airlangga di Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Selain itu, Menperin menilai, diperlukan negosiasi dengan Uni Eropa agar produk furniture yang memiliki SVLK memiliki mekanisme yang lebih mudah untuk masuk. Pasalnya, saat ini meski ada SVLK, produk furniture dan kerajinan Indonesia tetap sulit menembus pasar Uni Eropa. Bahkan, berdasarkan catatan Kemenperin, ekspor produk furniture dan kayu pada 2016 turun menjadi US$ 1,6 miliar.
“Kami sedang bahas di Menko menegenai CEPA dengan Uni Eropa. Eropa pada dasarnya setuju, sehingga tinggal bagaimana mekanisme yang lebih sederhana dan pembiayaan yang lebih murah untuk produk furniture nasional,” kata Airlangga.
Ketua Umum Himpuna Industri Mebel dan Kerajina Indonesia (HIMKI) Ir. Soenoto mengatakan, jika masalah SVLK tidak diselasaikan, industri akan sulit memenuhi target ekspor sebesar US$ 5 miliar pada 2019. Bahkan, jika tidak ada perubahan, target ekspor US$ 2 miliar tahun ini sulit diraih. Padahal, seharusnya produsen bisa memanfaatkan kapasitas yang ada, karena utilisasi baru 40%.
Menurut dia, pasar terbesar ekspor furniture sebenarnya bukan Uni Eropa, tapi Amerika Serikat (AS). Potensi pasar furniture negeri Paman Sam tersebut mencapai US$ 111 miliar, sedangkan ekspor Indonesia ke sana baru US$ 800 juta.
“Dari angka itu, kami optimistis bisa memacu ekspor selama hambatan bisa kita tekan. Kami minta ada review model SVLK. Kami meminta prosedur yang sederhana dan zero cost,” kata dia. investor daily
Comments