Belajar dari Vietnam: HIMKI Gali Strategi Industri Mebel dan Lobi Dagang di Tengah Ketidakpastian Global
- HIMKI Pusat
- 1 Sep
- 6 menit membaca
Diperbarui: 9 Sep

Vietnam sedang membuka lebar pintu bagi siapa pun yang ingin berinvestasi dan berbisnis. Ekspansi atau diferensiasi pasar juga terus digenjot. Tidak hanya pemerintah yang proaktif, para pengusaha juga bergerak dengan luwes dan cantik untuk mengembangkan lini bisnisnya masing-masing.
Kemajuan Vietnam serta roda perekonomian yang tengah bergeliat diakui para pengusahanya. Mereka tidak bergantung pada pemerintah, tidak ragu bergerak untuk bernegosiasi langsung dengan pemerintah negara lain. Negosiasi bisa dilakukan antara pelaku bisnis dan pemerintah, seperti yang diterapkan para pengusaha Vietnam menyikapi kebijakan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
āMereka (AS) menetapkan tarif dari 0 persen ke 20 persen. Hal ini mengakibatkan banyak kesulitan, tetapi kami secara umum melihat bahwa pasar masih tumbuh. Dibandingkan dengan 2024, kami tumbuh sekitar 9 persen,ā tutur Member of the Standing Committee & Head of the Trade Promotion Department Binh Duong Furniture Association (Bifa) Pham Ngoc Phuoc di Binh Duong, Vietnam, Jumat (29/8/2025).
Diskusi itu merupakan pertemuan Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Beberapa perwakilannya adalah Ketua Bidang Hub Antarlembaga Internasional Marthunus Fahrizal, Manajer Public Relations Fithrianti Abdullah, serta anggota staf Hubungan Internasional dan Analisis Data Rommy Kartiwa. Selain Pham, Bifa diwakili pula oleh Member of Trade Promotion Department Bifa, Hosen Tuan Anh.
HIMKI memperkirakan, nilai ekspor mebel dan kerajinan Indonesia sebesar 1,5 miliar-1,7 miliar dollar AS pada semester I-2025. Dari jumlah itu, ekspor ke pasar AS diproyeksikan 800 juta-900 juta dollar AS atau sekitar 53 persen dari total.

Pertemuan Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) dan Binh Duong Furniture Association (Bifa) di Binh Duong, Vietnam, Jumat (29/8/2025). Keduanya membahas cara Indonesia dan Vietnam menyikapi tarif resiprokal yang dikenakan Pemerintah Amerika Serikat.
Salah satu industri utama Vietnam adalah mebel. Menurut data Kementerian Agrikultur dan Lingkungan Vietnam, nilai ekspor kayu dan produk kayu selama semester I-2025 mencapai 8,21 miliar dollar AS. Angkanya naik 8,9 persen dibandingkan tahun lalu dalam periode yang sama.
Dari jumlah tersebut, sekitar 6 miliar dollar AS berputar di dalam negeri. Sisanya, sekitar 2 miliar dollar AS, merupakan hasil impor bahan baku. āJadi, di Vietnam, pemerintah sangat mendukung industri mebel. Industri ini menyumbang pendapatan yang besar untuk negara,ā kata Pham.
Selain itu, investasi asing atau foreign direct investment (FDI) sedang bertumbuh. Sektor logistik juga berjalan karena kota industri berdekatan dengan pelabuhan sehingga memudahkan untuk pengiriman barang dan komoditas.
āInvestasi lebih mudah. Banyak pabrik manufaktur China yang pindah ke Vietnam. Hal ini tidak lepas dari perang Rusia dan Ukraina sehingga permintaan ekspor juga bertambah. Salah satunya seperti pengiriman briket arang dari Vietnam,ā ujar Pham.
Bifa juga mengakui, pemerintah mendukung proses pengurusan investasi. Administrasi dan perizinan dapat diurus dengan mudah.
Guna menarik minat investasi, pemilik modal dapat menyewa tanah beserta bangunan pabriknya atau membeli tanah. Biaya yang perlu dikeluarkan untuk menyewa pabrik sekitar 3 dollar AS per meter persegi. Angka itu setara dengan Rp 49.383 dengan kurs Rp 16.461 per dollar AS.
Opsi lain, investor dapat membeli tanah yang sifatnya tidak permanen karena hanya berlaku selama 50 tahun. Jika pemilik modal berminat berinvestasi di zona industri, biayanya senilai 150 dollar AS atau Rp 2,47 juta per meter persegi.
Apabila dalam masa kepemilikan ditemukan harta atau penemuan berharga di dalam tanah, statusnya dimiliki Pemerintah Vietnam, bukan investor sebagai pemilik tanah. Artinya, membeli justru lebih mahal ketimbang menyewa tanah.
āDalam waktu dekat, semua pabrik harus pindah ke zona industri, mengikuti kebijakan pemerintah. Ketika sudah dalam zona industri, harga (tanah) akan lebih mahal. Upaya ini dilakukan untuk mengontrol polusi,ā tutur Pham.
Menanggapi hal itu, Marthunus mengatakan, harga sewa tanah di Vietnam lebih murah ketimbang di Indonesia. Di Tanah Air, harga sewa tanah sekitar Rp 70.000 per meter persegi. Pemerintah hanya menyewakan tanah, tanpa bangunan pabrik yang siap digunakan.
āDi Indonesia, kami (pengusaha) membeli tanah dan aset itu menjadi milik kami. Namun, jika Anda menemukan emas atau barang berharga di dalam tanah, maka barang itu menjadi milik negara,ā kata Marthunus.
Ā
Negosiasi dengan AS
Pada awalnya, tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap Vietnam dari 46 persen. Namun, negosiasi yang dilakukan dengan ragam dinamikanya berhasil menurunkan tarif menjadi 20 persen. Mereka tidak berpuas diri karena masih berupaya mendapatkan tarif yang lebih rendah.
āAS merupakan pasar utama kami. Proporsinya mencapai 55 persen dari pasar mebel. Mereka juga tahu bahwa (perusahaan) China pindah ke sini sehingga mereka harus sangat berhati-hati. Sebab, AS sekarang berpikir bahwa kami adalah āhalaman belakangā China,ā ujar Pham.
Beberapa pihak dari China, Pham melanjutkan, tidak memindahkan pabriknya ke Vietnam. Mereka hanya memindahkan sejumlah dokumen atau surat kerjanya. Hal ini berisiko membunuh industri dalam negeri.

Member of the Standing Committee & Head of the Trade Promotion Department Binh Duong Furniture Association (Bifa) Pham Ngoc Phuoc (kanan) bersama member of Trade Promotion Department Bifa Hosen Tuan Anh di Binh Duong, Vietnam, Jumat (29/8/2025). Mereka menerima kunjungan Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).
Ketua Umum Bifa Nguyen Van Liem merupakan salah satu anggota tim konsultan yang bernegosiasi langsung dengan Pemerintah AS. Guna mendapatkan tarif lebih rendah, Pemerintah AS menyampaikan catatan-catatannya mengenai investasi dari China, termasuk pengusaha negeri bambu yang mengirimkan produk-produknya dari China ke Vietnam.
āJadi, kami memberikan sejumlah masukan, solusi bagi mereka (AS). Kami menjelaskan bagaimana kami menjual barang-barang, menggunakan pabrik Vietnam yang sebenarnya. Kami meyakinkan bahwa ada industri manufaktur yang sesungguhnya yang sudah berjalan sebelum AS memajaki 46 persen,ā ujar Pham.
Setelah diyakinkan, Pemerintah AS memangkas tarif resiprokalnya dari 46 persen menjadi 20 persen secara general. Khusus industri mebel Vietnam dikenai tarif 19 persen.
Dalam konteks sektor mebel, di balik kesepakatan tarif baru ini pengusaha Vietnam harus mengantongi deklarasi atau pernyataan bahwa produk-produknya dibuat di negara tersebut dari pabrik yang dimiliki warga negara Vietnam. Tidak hanya itu, produk mebel merupakan 100 persen kayu Vietnam yang dibuat rinci adanya pernyataan tempat pembelian bahan baku
.
āJadi, kami harus memahami apa yang menjadi concern mereka (Pemerintah AS) dan kami memberikan solusi untuk mereka. Apa yang Pemerintah AS khawatirkan, kami harus melakukannya untuk mereka,ā kata Pham.
Selain diferensiasi pasar
Para pengusaha Vietnam menyadari banyak hal bisa didapatkan lebih, ketika mereka ini dapat bergerak cepat secara mandiri. Koneksi dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia jadi andalan.
Diferensiasi pasar tengah diupayakan untuk dilakukan. Pasar-pasar baru, termasuk Timur Tengah, jadi targetnya. Namun, diferensiasi pasar bukan jalan satu-satunya untuk menyiasati kebijakan tarif resiprokal Trump. Sebelumnya, negara tersebut bakal dikenai tarif 46 persen, setelah negosiasi dilakukan, tarif baru disepakati 20 persen. Namun, proses negosiasi masih terus berjalan.
Selain ekspansi pasar, Pham menjelaskan, Bifa bergabung dengan asosiasi-asosiasi global. Pihaknya mendorong para pengusaha untuk mengikuti ragam pameran berskala global untuk menjalin relasi dan terkoneksi dengan penyelenggara acara. Bifa juga terbuka bagi para pengusaha mebel atau furnitur lain yang ingin bergabung dengan asosiasinya.
Tidak hanya itu, pihaknya juga menggencarkan pelatihan untuk para anggotanya, terutama untuk memanfaatkan lokapasar atau e-commerce. Hal ini dinilainya menjadi titik perubahan atau game changer bagi industrinya. Pemerintah membantu menghubungkan dengan perusahaan besar, seperti Amazon, untuk melakukan workshop.
Bifa juga belajar dari pencapaian industri mebel Indonesia selama ini. Mereka mengakui beberapa aspek, Indonesia lebih unggul.
āKerajinan tangan dari Indonesia mudah dijual di e-commerce. Dalam hal teknologi, seperti pemanfaatan e-commerce, Indonesia di depan Vietnam,ā ujar Hosen.
Indonesia memiliki banyak pasar lokal yang bisa dimanfaatkan, seperti Jakarta dan Yogyakarta. Sebaliknya, pasar lokal Vietnam yang bisa diandalkan terbatas, salah satunya Ho Chi Minh City.
Meski demikian, pertumbuhan signifikan industri Vietnam diakui perlu diteladani. Negara tersebut menggelar karpet merah bagi investasi asing yang dapat ditiru, bahkan dilampaui Indonesia.
āKita harus memastikan iklim investasi yang berdaya saing melalui deregulasi yang actionable. Orientasinya bukan menyederhanakan regulasi semata, tetapi menyederhanakan dan menekan biaya proses di lapangan. Kemudian, menjamin kepastian hukum dan memperbaiki kinerja birokrasi,ā tutur ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.
Jika iklim investasi dapat diperbaiki, niscaya Indonesia akan lebih menarik dari Vietnam. FDI akan banyak mengalir masuk karena Indonesia memiliki pasar domestik yang besar; Indonesia berpotensi mengakses pasar Uni Eropa melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Uni Eropa-Indonesia (IEU-CEPA).
Sementara itu, Vietnam sudah mengaksesnya melalui Perjanjian Perdagangan Bebas Uni Eropa-Vietnam (EVFTA); serta ekspor Vietnam ke AS sudah sangat besar sehingga Pemerintah AS sangat paranoid dengan negara itu, tetapi relatif lebih ramah dengan Indonesia.
āAda peluang kita mendapatkan tarif jauh lebih rendah dari 19 persen untuk banyak produk. Investasi Korea Selatan dan China di Vietnam sudah terlalu jenuh. Mereka memerlukan diversifikasi lokasi untuk memitigasi risiko pada masa mendatang,ā tutur Wijayanto.
Indonesia yang memiliki Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) juga harus dioptimalkan, sebagai katalisator investasi asing ke Indonesia. Danantara tidak hanya memiliki kapasitas modal yang memadai, tetapi juga kredibilitas dan akses ke pemerintah.
āPemerintah memiliki dual responsibility yang besar, yaitu memperbaiki kondisi dalam negeri, serta memperbaiki lobi dan upaya marketing ke luar negeri. Kolaborasi swasta, Danantara, dan pemerintah perlu didorong untuk disinergikan guna mewujudkan tim lobi dan tim marketing ke pasar dunia,ā ujar Wijayanto.
Upaya serupa dilakukan Dana Kekayaan Negara atau Sovereign Wealth Fund (SWF) Timur Tengah yang andil dalam peran strategis. Beberapa di antaranya memperkuat lobi, baik ke AS, China, maupun Uni Eropa.
Berkaca dari gerak cepat para pengusaha Vietnam untuk menegosiasikan tarif Trump, idealnya Indonesia maju sebagai Indonesia Incorporated. Kelompok itu mewadahi semua pihak, yakni swasta, pemerintah, dan Danantara.
Perlu diakui, siasat Vietnam untuk berkembang tengah disorot. Langkah cantik Vietnam menunjukkan keniscayaan bermain dalam skala global, walau harus diingat bahwa metode yang digunakan tidak bisa ditiru mentah-mentah.
Bagaimanapun Indonesia merupakan negara demokrasi, bukan sosialis. Walakin, tak dapat dimungkiri, banyak hal yang bisa dipelajari untuk bisa membidik pasar dunia.
Oleh Yosepha Debrina Ratih Pusparisa dari Binh Duong, Vietnam
01 Sep 2025 11:30 WIB Ā· Ekonomi & Bisnis (Kompas)
Komentar